PENERJEMAHAN PUISI
SEBAGAI PROSES PEMINDAHAN NUANSA BAHASA
Rahadjeng PulungSari, M.Hum
Hakikat puisi adalah citraan (imagery), sebuah proses tindakan mental yang terjadi dalam pikiran. Ia mendorong terjadinya penciptaan bayangan visual yang hadir lantaran ada sesuatu yang menyentuh saklar memori untuk mengaitkannya pada sesuatu yang lain. Citraan merangsang memori, asosiasi, dan pikiran kita untuk membayangkan atau memvisualisasikan sesuatu, peristiwa atau hal tertentu sesuai dengan pengalaman pribadinya. Ia dihadirkan memori yang di dalamnya bersemayam berbagai pengalaman individual dalam mengikuti perjalanan kehidupan ini. Maka ketika seseorang mendengar, membaca, atau menemukan kata atau simbol yang mencitrakan sesuatu, memori seketika menghidupkannya sesuai dengan pengalaman masa lalu dan pengenalannya pada sesuatu.
Dalam puisi, citraan merupakan unsur penting. Para penyair sadar betul pada potensi citraan. Maka berlombalah mereka memanfaatkan dan mengeksploitasi kata—bahasa untuk menghasilkan citraan secara maksimal. Itulah sebabnya, puisi lebih ringkas, padat, kemas, dengan berbagai kekayaan makna katanya yang ambigu. Puisi tidak memerlukan deskripsi atau narasi panjang lebar, sebagaimana yang disyaratkan prosa. Ia juga boleh mengabaikan rangkaian dialog dan petunjuk pemnggungan yang dalam drama justru penting artinya. Itulah sebabnya, rangkaian kata dalam bahasa puisi cenderung metaforis, simbolik, analogis, bahkan juga tidak jarang bermakna paradoksal.
Pemanfaatan gaya bahasa seperti itu tentu saja bukan tanpa masalah. Pembaca sering berhadapan dengan kesulitan menafsir dan memaknai sebuah puisi. Apalagi jika pikiran pembaca sudah digayuti konsep atau kepentingan tertentu. Maka, salah tafsir sangat mungkin terjadi. Horison harapannya sering kali memaksanya untuk bertindak apriori, menyodorkan jawaban sebelum mengetahui pertanyaan.
Tetapi bagi penyair, kebebasan untuk menyembunyikan makna dan hasrat untuk mengeksploitasi kata yang membuka ruang tafsir seluas-luasnya, tidak jarang malah menggiring penyair justru sengaja membuat sebuah dunia yang penuh kegelapan. Rangkaian kata yang berloncatan membentuk deretan kata atau membangun kalimat dalam larik-larik puisi, begitu jauh meninggalkan konvensionalitas dan kelaziman. Ia mengabaikan pentingnya menyertakan alat bantu atau sinyal yang dapat digunakan pembaca untuk coba memahami bangunan kalimat itu. Akibatnya, bukan mustahil puisi itu hanya dapat dipahami oleh penyairnya sendiri.
Sebaliknya, banyak pula penyair yang dilanda kecemasan bahwa pembaca tidak dapat memahami makna puisinya. Ia digoda oleh ketakutan, bahwa puisinya hanya menawarkan segala yang serba gelap, meskipun di sana sudah tersedia begitu banyak sinyal yang dapat digunakan pembaca memasuki medan makna puisinya. Penyair itu lupa bahwa ia sesungguhnya sedang menulis puisi, dan bukan iklan, propaganda, atau informasi untuk papan pengumuman. Kelalaian yang tak disengaja itulah yang kerap melahirkan puisi yang begitu banyak pernyataan dengan maknanya yang eksplisit.
Di antara dua ekstrem itu, ada pula penyair yang menyadari pentingnya ambiguitas, tanpa harus melalaikan sinyal-sinyal yang dapat membantu membaca memasuki wilayah dunia makna puisinya. Dalam posisi itulah puisi dapat dinikmati secara paripurna. Pembaca tidak digiring ke dalam dunia yang penuh kegelapan, tetapi sekaligus juga tidak dibawa pada wilayah eksplisitasi. Di sinilah citraan memainkan peranannya. Di sinilah singgasana penyair menempati kekuasaannya.
Meskipun demikian, penekanan pada citraan bukanlah satu-satunya alat untuk membangun puisi yang baik. Kesederhanaan dan kejujuran mengungkap ekspresi kreatif boleh juga menghasilkan puisi yang baik.
Di luar hal itu, tidak sedikit penyair yang bertindak tanpa mempertimbangkan berbagai kemungkinan itu. Latar belakang proses kreatifnya semata-mata didasari oleh keinginan membukan saluran ekspresi. Tugasnya hanya menulis puisi, bahwa kelak pembaca memahami atau tidak, itu perkara yang kemudian. Dalam konteks itu, tentu saja penyair bebas melakukan apa pun. Termasuklah di dalamnya apa yang dilakukan penyair Wilson Tjandinegara ini sebagaimana yang dapat kita cermati dalam puisi-puisinya yang terhimpun dalam antalogi Mengikuti Pilihan Hati.
***
Sungguh ekspresi kreatif puisi-puisi Wilson Tjandinegara dalam beberapa hal mengingatkan saya pada gaya pengucapan Li Tai Po (701—762), penyair Tionghoa yang hidup pada zaman dinasti Tang (618—907). Meski Wilson bukan pemuja anggur sebagaimana yang terjadi pada diri Li, kesederhanaan dan kejujuran dalam mengungkapkan perasaannya, dalam beberapa puisinya, terkesan tanpa pretense, apa adanya, tanpa beban filosofis. Boleh jadi itu merupakan buah dari kesederhanaan dan kejujuran dalam melakukan respons atas fenomena yang menggelisahkannya. Maka, jika Li Tai Po kerap mencantelkan kegelisahannya dalam simbol anggur dengan segala benda yang berhubungan dengan minuman itu, Wilson cukup merepresentasikannya secara apa adanya, tanpa niat memamerkan kecanggihannya berbahasa, tanpa doktrin tentang filsafat hidup, semua mengalir begitu saja.
Ekspresi yang seperti itu, juga menggoda saya untuk mengingat sejumlah puisi yang terdapat dalam kisah cinta sejati, Liang Shan Bo dan Zhu Ting Tai karya Zhao Qing-Ge, sebuah cerita klasik yang dramatis berdasarkan drama Liu Yin Ji. Kedua tokoh dalam cerita itu –Liang dan Zhu—juga memanfaatkan sejumlah puisi untuk menyampaikan perasaan hatinya.
Kesederhanaan, kejujuran, dan ekspresi yang spontan, boleh juga kita jumpai dalam Manyoshu, puisi-puisi klasik Jepang. Jadi, kesederhaan dan kejujuran dalam mengungkapkan segala sesuatu sebagai ekspresi kreatifnya, memang sudah punya sejarahnya sendiri yang begitu panjang.
Ekspresi kreatif dalam puisi-puisi Wilson Tjandinegara tentu saja tidak masuk dalam wilayah klasik, mengingat keberadaannya kini dalam dunia kontemporer. Tetapi, tanpa disadarinya, Wilson mengambil jalur itu sebagai pilihan. Dan justru di situlah sesungguhnya sosok penyair ini memperlihatkan potensi talentanya. Ia kelihatan lebih lepas, lebih alami menyalurkan pandangannya tentang tradisi, tentang alam, atau tentang ketakjubannya pada suasana. Mari kita cermati beberapa puisinya.
***
Antologi puisi dwibahasa Mengikuti Pilihan Hati memuat 27 puisi yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan Mandarin. Sejumlah puisinya, antara lain, “Merenung di depan Kampung Halaman,” “Sarangan Merekah,” “Senja di Puncak,” “Rumah Panggung dalam Mimpi,” “Gunung dan Danau,” dan “Terpesona” memperlihatkan sosok penyair yang menyadari keberadaannya dalam lingkaran tradisi keluarga dan kehidupannya yang peduli pada alam. Perhatikan puisinya yang berjudul “Merenung di depan Kampung Halaman” berikut ini:
Datang dari jauh
Aku kembali menelusuri
Kampung halaman ayahanda
Di depan kampung
Di bawah pohon beringin besar
Aku merenung
Apakah di tempat ini
Pernah ayahanda bermain
Di masa kecil
Sejak rambut hitam
Hingga berbunga ubanan
Berjuang demi hidup
Oh,
Ayahanda
Meninggal di kampung orang
Rasanya tentu
Sangat merindukan
Tempat masa kecilnya
Betapa bersahajanya si aku lirik memandang tanah leluhur. Betapa naïf ia membayangkan masa kecil ayahnya. Betapa jujur ia merasakan kerinduan pada keceriaan masa kecil bermain di tanah kelahirannya sendiri. Secara tematik, bahkan stilistik, tak ada yang istimewa dalam puisi ini. Tetapi di dalamnya sesungguhnya tersimpan problem kultural tentang tradisi keluarga dan kebudayaan yang telah membentuknya, tentang masa kecil ayahnya yang penuh ditaburi keceriaan sebagaimana lazimnya kehidupan dalam dunia anak-anak. Renungan si aku lirik, boleh jadi merupakan representasi hidupnya yang (dianggap) tak punya kampung halaman dengan masa kecilnya yang tak bahagia. Di balik itu, ia sesungguhnya bangga pada sang ayah, pada sikap dan perjuangannya untuk tetap bertahan hidup, di mana pun berada.
Begitulah, dalam kesederhaan gaya pengucapannya, Wilson telah mewartakan kejujuran tentang kehidupannya sendiri yang berada dalam tarik-menarik kampung halaman dan tanah rantau. Ia tidak menempatkan dirinya sebagai si anak hilang seperti yang dialami Sitor Situmorang ketika menginjakkan kaki di tanah Samosir meski danau Toba tetap memancarkan keindahannya. Ia juga tak merasa kehilangan eksistensi dan menjadi orang asing di tanah leluhurnya sendiri. Ia hanya menyampaikan sebuah permenungan dalam kehidupan yang terasa paradoks antara kampung halaman dan tanah leluhur dengan tanah rantau dan negeri tempat mencari penghidupan.
Beberapa puisinya yang disebutkan tadi disampaikan dengan gaya pengucapan yang sama; penuh kesederhanaan dan kejujuran. Tetapi, jelas, penyair sangat peduli pada alam. Baginya, alam sering kali menghadirkan inspirasi. Maka seketika itulah ia menumpahkan ketakjubannya pada alam dalam larik-larik puisi. Periksalah puisinya yang bertajuk “Senja di Puncak,” “Gunung dan Danau” atau “Terpesona”.
SENJA DI PUNCAK
Di depan
Seorang diri
Menghirup secerek kopi
Duduk diam di balkon hotel
Menikmati sejenak
Ketenangan penuh nuansa
Di kejauhan
Gunung-gunung menghijau
Diselimuti kabut
Sehamparan pohon bambu
Beberapa gubuk petani
Alam puitis bagai dalam lukisan
Puas tuntas aku memeluk alam
Lupa segala urusan duniawi
Begitulah, alam bagi penyair adalah mimpi yang menghidupkan, kegairahan yang membuncah. Maka, cita-cita hidupnya sederhana –setidak-tidaknya, obsesinya sebagai manusia yang punya mimpi—harapan—adalah mempunyai rumah panggung sederhana. Di sana, ia dapat menikmati hidup jauh dari kesibukan dan huru-hara.
RUMAH PANGGUNG DALAM MIMPI
Mandi cahaya
Dalam mentari senja
Rumah panggung
Tampak anggun tenang
Pagar pohon bambu
Berbisik bergoyang dalam angin
Pohon rambutan di pekarangan
Buah memerah rimbun lebat
Membaca santai di balkon
Anjing bermain menemani
Kami menikmati mentari senja
Menanti dengan tenang
Tibanya malam
Kembali kita melihat kesederhaan dan kejujuran disampaikan Wilson Tjandinegara, dan sesungguhnya dalam ekspresi yang seperti itulah puisi-puisinya memperlihatkan kekuatan daya pesonanya. Maka, ketika kita menjumpai puisi-puisinya yang lain dengan tema yang sebenarnya asing dan tak diakrabinya, kita seperti berhadapan dengan kemarahan yang terpendam. Penyair seperti hendak melakukan perlawanan dengan reaksi yang tak tersalurkan.
Lihat saja puisinya yang berjudul “Tragedi 11 September” atau “Mengenang Tragedi 1946”. Sebagai catatan sejarah tentang tragedi kemanusiaan, tentu saja apa yang dilakukan Wilson itu punya arti penting. Tetapi, bagaimanapun juga, kemarahan yang terpendam, perlawanan yang tak dapat dilakukan, dan reaksi yang tak tersalurkan, laksana nasib kisah Caligula yang terperosok pada sejarah yang membisu. Jangan pula hendaknya hasrat Zhu Ying-Tai untuk mengungkapkan perasaan cintanya pada Liang Shan-Bo, dimaknai sebagai kemustahilan. Maka, dalam kedua puisi itu, kita tidak menjumpai kesederhaan dan kejujuran. Padahal, sikap hidup dan mimpi yang hendak dibangunnya dilandasi oleh pandangan tentang kesederhaan dan kejujuran itu.
Ekspresi dalam kedua puisi itu pun –dalam konteks kesederhaan dan kejujuran-- seperti sebuah paradoks ketika kita mencermati pandangan tentang pilihannya pada dunia sastra. Ia tampak lebih alamiah dan terkesan mengalir begitu saja. Bukankah hidup itu sendiri bagai sungai yang mengalir begitu saja? Tiba-tiba kita terkejut sendiri manakala kita tak dapat menghindari kenyataan, bahwa muara kehidupan sudah berada di depan mata. Konon, hidup terasa begitu cepat, ketika usia berada di ujung senja.
***
Wilson Tjandinegara, sebuah nama yang aneh: Barat bukan, Indonesia juga bukan. Meski begitu, kepiawaiannya dalam bahasa Mandarin, boleh dijadikan indikator tentang keterpengaruhannya pada filosofi kultural bangsa Tionghoa. Maka menjadi sangat wajar ketika kita menjumpai ekspresi kreatifnya seperti tidak dapat meninggalkan—menanggalkan wawasan estetik pada tradisi kebudayaan yang telah melahirkan, membesarkan, dan membentuknya sebagai sosok penyair. Jadi, di luar berbagai persoalan tematik yang hendak ditawarkannya, Wilson –sadar atau tidak—tetap memperlihatkan semangat konfusionisme yang memang telah menjadi akar dan sekaligus ibu budayanya. Dalam hal itulah, puisi-puisi Wilson meski dicantelkan pada filosofi itu. Dengan demikian, kita akan memperoleh gambaran lebih lengkap tentang persoalan yang melatarbelakangi dan harapan yang melatardepaninya hingga wujud menjadi puisi. Dalam peta kesusastraan Indonesia, ia telah menorehkan warna lain, betapa keindonesiaan itu dibangun oleh keberagaman kultural. Di sinilah konteks kehadiran antologi puisi Mengikuti Pilihan Hati penting artinya dalam memahami keindonesiaan.
Tahniah!
Bojonggede, 21 Desember 2007
* Pengantar Peluncuran dan Diskusi Buku Antologi Puisi Dwibahasa Mengikuti Pilihan Hati karya Wilson Tjandinegara, diselenggarakan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 22 Desember 2007.
* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok.
|